Published: 8 Mar 2017 12:37 WIB
IMQ, Jakarta — Pemerintah harus berhati-hati dalam menerapkan aturan kuota dan tarif atas impor tembakau karena kebijakan tersebut berpotensi menaikkan angka pengangguran di sentra industri rokok nasional.
"Industri rokok tidak setuju dengan aturan soal kuota dan tarif impor yang tercantum di Rancangan Undang-Undang Pertembakauan. Rencana pemerintah menerapkan kuota impor maksimal 20% pasti membuat industri dalam negeri kekurangan pasokan karena produksi tembakau lokal selama ini baru bisa memenuhi sekitar separuh dari kebutuhan industri," kata Ketua Paguyuban Mitra Pelinting Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi kepada pers di Jakarta, Rabu (8/3).
Pemerintah, menurut Djoko, seharusnya menerapkan kuota sesuai dengan perkembangan produksi tembakau lokal. Kuota impor dipangkas secara bertahap sejalan dengan peningkatan kemampuan perkebunan lokal memasok kebutuhan industri.
"Sebetulnya mau 0% kami setuju jika produksi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan. Harusnya produksi naik dulu," papar dia.
Djoko meminta, pemerintah mempertimbangkan kembali penaikan tarif impor tembakau dari 5% menjadi 60%. Kombinasi antara kenaikan tajam tarif impor dan kuota impor pasti membuat industri sigaret kretek tangan (SKT) kolaps.
"Penurunan tajam produksi industri SKT, akan berdampak besar pada tingkat pengangguran karena sifatnya yang padat karya. Pemerintah juga bakal menghadapi potensi penurunan pendapatan cukai yang sangat besar seperti tahun lalu, pendapatan cukai kurang Rp2 triliun saja ributnya setengah mati," ujar Joko.
Sedangkan Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto menambahkan, penyusunan aturan dan kebijakan soal tembakau harus sangat hati-hati karena berdampak pada hajat hidup orang banyak.
"Penerapan kuota harus realistis sesuai kebutuhan industri rokok dalam negeri. Impor tembakau tidak bisa langsung dihentikan jika pasokan bahan baku buat industri tidak terjamin," tuturnya.
"Industri rokok tidak setuju dengan aturan soal kuota dan tarif impor yang tercantum di Rancangan Undang-Undang Pertembakauan. Rencana pemerintah menerapkan kuota impor maksimal 20% pasti membuat industri dalam negeri kekurangan pasokan karena produksi tembakau lokal selama ini baru bisa memenuhi sekitar separuh dari kebutuhan industri," kata Ketua Paguyuban Mitra Pelinting Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi kepada pers di Jakarta, Rabu (8/3).
Pemerintah, menurut Djoko, seharusnya menerapkan kuota sesuai dengan perkembangan produksi tembakau lokal. Kuota impor dipangkas secara bertahap sejalan dengan peningkatan kemampuan perkebunan lokal memasok kebutuhan industri.
"Sebetulnya mau 0% kami setuju jika produksi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan. Harusnya produksi naik dulu," papar dia.
Djoko meminta, pemerintah mempertimbangkan kembali penaikan tarif impor tembakau dari 5% menjadi 60%. Kombinasi antara kenaikan tajam tarif impor dan kuota impor pasti membuat industri sigaret kretek tangan (SKT) kolaps.
"Penurunan tajam produksi industri SKT, akan berdampak besar pada tingkat pengangguran karena sifatnya yang padat karya. Pemerintah juga bakal menghadapi potensi penurunan pendapatan cukai yang sangat besar seperti tahun lalu, pendapatan cukai kurang Rp2 triliun saja ributnya setengah mati," ujar Joko.
Sedangkan Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto menambahkan, penyusunan aturan dan kebijakan soal tembakau harus sangat hati-hati karena berdampak pada hajat hidup orang banyak.
"Penerapan kuota harus realistis sesuai kebutuhan industri rokok dalam negeri. Impor tembakau tidak bisa langsung dihentikan jika pasokan bahan baku buat industri tidak terjamin," tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar