Selasa, 17 Juli 2018

Shisha dan Rokok Elektronik: Biang Bencana Demografi


Hasil gambar untuk penikmat shisha
"Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia" --Soekarno
Masihkah pemuda Indonesia memiliki idealisme dan semangat juang yang sedemikian rupa, hingga bisa mengguncangkan dunia sebagaimana dijanjikan oleh Soekarno?
Nyatanya, saat ini anak-anak Indonesia tengah menghadapi tantangan besar sebelum mencapai kejayaan tersebut. Kita sering mendengar tentang rokok, yang jumlah penggunanya semakin lama semakin meningkat hingga mencapai 65,8% (laki-laki) dan 4,2% (perempuan). Hampir 80% mulai merokok sejak masih muda, bahkan ketika usianya belum mencapai 19 tahun.

Akan tetapi, mimpi buruk bangsa ini tidak berhenti sampai disitu. Shisha atau rokok khas Timur Tengah juga sedang menjadi tren yang menjamur di kalangan remaja. Wajar saja, shisha dikemas dengan begitu menarik dan memiliki berbagai macam rasa, mulai dari buah-buahan, cokelat, vanilla, dan masih banyak lagi. Sayangnya, rasa yang manis dan penampilan yang menarik hanya menjadi selubung dari zat-zat berbahaya yang dikandung oleh shisha. Sejumlah studi membuktikan bahwa shisha dapat menimbulkan keracunan karbon monoksida, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker paru, penyakit menular (TBC, infeksi aspergilus), dan penyakit-penyakit lainnya.
Ada pula rokok elektronik yang kehadirannya memancing rasa penasaran. Dianggap lebih aman dan lebih gaya dibandingkan rokok konvensional, sebagian orang juga beralih ke rokok elektronik dengan harapan dapat berhenti merokok secara perlahan. Faktanya, WHO sudah tidak lagi merekomendasikan penggunaannya sebagai alat bantu berhenti merokok sejak tahun 2010 lantaran beberapa studi menemukan adanya zat racun dan karsinogenik pada rokok elektronik.
Shisha dan rokok elektronik juga memiliki kadar nikotin positif, yang berarti keduanya masih dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan. Tidak heran apabila semakin banyak remaja yang terjebak dalam 'lingkaran setan' adiksi. Berawal dari coba-coba atau ingin terlihat keren, ketagihan, lalu kesulitan untuk berhenti atau mengalami sakau ketika mencoba berhenti. Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, apalagi dengan harga shisha dan rokok elektronik yang cukup tinggi (berkisar kurang dari Rp100.000 hingga lebih dari Rp1.000.000). Aspek yang dikorbankan juga banyak, mulai dari kondisi psikologis anak, kondisi fisik, hingga pendidikan dan masa depan anak tersebut.
Bencana demografi
Tahukah para remaja tersebut akan risiko yang mereka hadapi ketika mereka mencoba shisha dan/atau rokok elektronik?
Saya rasa tidak.
Lantas, salah siapa?
Apabila rokok konvensional, rokok elektrik, dan shisha semakin merajalela, maka fenomena yang disebut-sebut sebagai bonus demografi pada tahun 2020-2030 nanti bisa saja berubah menjadi ‘bencana demografi’. Jika terjadi demikian, maka kesalahannya ada pada diri kita semua, yang gagal memaksimalkan potensi penduduk umur produktif yang akan merajai piramida penduduk pada tahun tersebut.
Pemegang peran terpenting: pemerintah
Para wakil rakyat yang terhormat tentu menyadari bahwa mereka memiliki andil besar dalam perjuangan melawan zat-zat adiktif yang sekiranya bisa menghancurkan generasi muda. Akan tetapi, perjuangan melawan zat adiktif tidak akan berhasil apabila kita hanya fokus pada pembatasan iklan rokok, aturan kawasan tanpa rokok, serta aturan gambar menyeramkan pada rokok. Selama ini, usaha yang ada hanya berkisar pada pencegahan atau aspek preventif dari aktivitas merokok. Kita melupakan aspek lain, yakni aspek kuratif: Bagaimana caranya untuk membantu orang-orang yang sudah terlanjur terjebak dalam adiksi tersebut? Apakah kita sudah menyediakan fasilitas yang cukup bagi mereka untuk berhenti?
Kita ambil contoh dari kasus rokok. Studi menunjukkan bahwa terdapat 40% perokok yang mencoba untuk berhenti setiap tahunnya, namun hanya 4-6% yang berhasil. Salah satu mispersepsi yang sering muncul pada dokter, perokok, dan nonperokok adalah "semua perokok bisa berhenti merokok apabila mereka memiliki motivasi yang cukup". Nyatanya, memang benar bahwa ada perokok yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri, tetapi banyak pula yang tidak bisa berhenti tanpa tata laksana tertentu. Sama halnya seperti para pengguna alcohol dan orang-orang yang mengalami depresi.
 Terkait rokok, negara Amerika Serikat telah menetapkan Comprehensive Tobacco Control Programyang meliputi penggunaan obat-obatan (bupropion, varenicline), terapi pengganti nikotin, serta menggalakkan konseling dokter untuk berhenti merokok, baik secara tatap muka maupun lewat layanan telepon. Hasilnya, jumlah perokok semakin menurun dari 38.3% (2006) menjadi 28.3% (2008). 
Sebanyak 183 negara yang telah meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) juga telah melaksanakan sejumlah usaha untuk menangani hal ini, antara lain melalui penguatan promosi kesadaran tentang isu pengendalian tembakau menggunakan semua alat komunikasi yang tersedia, serta pengembangan pedoman upaya penghentian pemakaian tembakau. Mirisnya, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang tidak meratifikasi FCTC dan alhasil kita hanya menyediakan fasilitas yang terbatas untuk membantu masyarakat berhenti merokok.
Bagaimana dengan shisha dan elektronik? Kasusnya kurang lebih sama. Ironisnya, aspek preventif dari keduanya bahkan masih lemah. Penyebaran informasi terkait keduanya masih jauh lebih sedikit dan jarang dibandingkan dengan promosi anti-rokok, padahal keduanya memiliki dampak buruk yang tidak jauh berbeda. Regulasinya juga belum jelas, bahkan saat ini rokok elektronik masih digolongkan menjadi produk elektronik dan shisha belum masuk kategori manapun. 
Maka, tidak heran apabila masyarakat mengonsumsi shisha dengan alasan ketidaktahuan bahwa shisha berbahaya. Wajar saja, mereka mengonsumsi rokok elektronik dengan alasan ingin berhenti merokok secara perlahan. Disinilah pentingnya peran pemerintah dalam penyebarluasan informasi terkait bahaya shisha dan rokok elektrik, penegakan regulasi terkait pembatasan produk-produk tersebut, serta pengembangan pedoman dan fasilitas bagi para pengguna rokok, shisha, maupun rokok elektrik. Hal ini harus dilaksanakan sedini mungkin sebelum meluasnya penjualan zat adiktif tersebut ke lapisan masyarakat lainnya.
Peran kita?
Tidak hanya pemerintah, kita sebagai generasi muda, orang tua, dan guru-guru di sekolah juga harus bergerak. Orang tua, sesibuk apapun, memegang peranan besar dalam tumbuh kembang anak, serta dalam pengawasan terhadap perilaku dan pergaulan anak. Guru-guru, dalam hal ini bertanggungjawab untuk memberikan edukasi dan meluruskan mitos-mitos yang ada terkait shisha dan rokok elektrik agar tidak ada lagi remaja yang memiliki persepsi bahwa produk tersebut tidak berbahaya. Terlebih dengan kondisi remaja yang masih bergejolak dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. 
Dan kita, sebagai sesame generasi muda, teman sebaya, juga memiliki peranan yang tak kalah besar. Sebuah riset menunjukkan bahwa media yang paling potensial dalam mengembangkan persepsi negatif terkait shisha adalah melalui teman. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi kita---apapun peran kita---untuk bersikap apatis terhadap musuh-musuh utama yang menjadi biang dari timbulnya bencana demografi di masa yang akan datang.
Daripada terus mengutuk kegelapan, mengapa kita tidak mulai menyalakan lilin?
Mari bergerak, jangan biarkan bencana demografi melanda tanah air tercinta!
Pustaka
  • Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif. Bahaya Rokok Elektronik: Racun Berbalut Teknologi. INfoPOM 2015;16(5):3-5.
  • World Health Organization. WHO Framework Convention on Tobacco Control. Geneva: WHO; 2003.
  • Kementerian Kesehatan RI. Hanya Indonesia, Negara di Asia yang Belum Meratifikasi FCTC. [cited at 3 Sept 2017]. Accessed from https://www.depkes.go.id/article/view/2370/hanya-indonesia-negara-di-asia-yang-belum-meratifikasi-fctc.html
  • Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Proyeksi Penduduk Indonesia: 2010-2035. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas; 2013.
  • Land T, Warner D, Paskowsky M, Cammaerts A, Wetherell L, Kaufmann R, Zhang L, Malarcher A, Pechacek T, Keithly L. Medicaid coverage for tobacco dependence treatments in Massachusetts and associated decreases in smoking prevalence. PLoS ONE 2010;5(3):e9770.
  • . Amin TT, Amr MA, Zaza BO, Suleman W. Harm perception, attitudes and predictors of waterpipe (shisha) smoking among secondary school adolescents in Al Hassa, Saudi Arabia. Asian Pasific Journal of Cancer Preventive. 2010; 11: 293-301


    sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar